Hilangnya Air dan Pangan akibat Kepungan Industri
Kamis, 25 Mei 2023 12:23 WIBArtikel ini adalah menceritakan sepenggal krisis air dan pangan sejak kehadiran industri ekstraktif dan hadirnya megaproyek Ibu Kota Negara yang menjarah habis ruang hidup masyarakat adat di wilayah Sepaku.
Sepaku tanah yang kini ramai diperbicangkan sejak ditetapkan sebagai lokasi pindahnya Ibu Kota Baru, menghadirkan cerita kontras adanya ketimpangan antara dominannya industri ekstraktif dengan hancurnya ruang hidup masyarakat adat balik yang dirontokkan oleh kebijakan obral izin sejak era Orde Baru.
Potret suram krisis air dan pangan terjadi pasca perubahan drastis terhadap bentang alam kawasan ini yang bertrasnformasi menjadi Industri HPH, HTI, Tambang Batubara dan Perkebunan Sawit skala luas. perubahan yang diharapkan meningkatnya kesejahteraan masyarakat seiring dengan kehadiran industri ekstraktif ini tidak lebih hanya mitos belaka. Bahkan ketika kekuasaan pemerintahan silih berganti, hingga di bawah kepemimpinan Jokowi – Ma’ruf Amin, tidak ada perubahan drastis yang di impikan oleh warga di kawasan.
Pemerintahan berganti-ganti namun kondisi rakyat tidak mengalami perubahan, sangat Ironis memang terlebih bagi warga yang hidup di kampung-kampung seperti ditanah sepaku. Warga yang telah berpuluh-puluh tahun hidup seperti tidak mengenali lagi kampung yang mereka diami, peneliti pada bulan maret tahun ini sempat bertandang ke kediaman warga di Kampung Sepaku, adalah sepasang suami istri Syamsiah (48 thn) dan Pandi (52 thn) bersedia menceritakan bagaimana buruknya kondisi air dan pangan yang tidak lagi bisa mereka dapatkan dengan baik seperti masa-masa lampau. Rumah kayunya yang berada di Jl. Datu Nodol kerap di sebut Logdam, hanya berjarak sekitar 14 meter dari Sungai Sepaku.
Di tahun 2000 Syamsiah beserta keluarga masih bisa menikmati padi gunung yang melimpah dan tentunya didapat tanpa harus membayar. Padi tersebut dinikmati dari hasil panen di tanah adik bu Syamsiah. Pada tahun tersebutlah kebiasaan gotong royong berladang padi gunung dirasakan terakhir kali. Tiap kali bergotong royong, warga di kampungnya berjalan kaki bersama untuk datang ke lokasi garapan, dan menurutnya itu adalah momen yang indah. Syamsiah menganggap, tidak memiliki kendaraan telah membuat keseharian warga Suku Balik terasa menjadi lebih indah.
“Kami dulu berjalan kaki rame-rame. Gotong royong ngerumput padi sampai sudah jadi padi juga begitu. Kalau selesai di sini minggu besok di sebelah,” tutur Syamsiah mengenang masa-masa gembira tersebut.
Gotong royong adalah sistem yang sudah mendarah daging dalam kehidupan warga Suku Balik. Setiap warga di kampungnya ini sudah terbiasa saling bergantian gotong royong.
“Ayo kita sempolo (ayo kita gotong royong). Bilo sempolo (kapan gotong royong). Sempolonya ngapain….nasok (nanam padi)," katanya dalam Bahasa Balik, menirukan percakapan yang biasa diucapkan antarwarga di kampungnya.
Meskipun tak memiliki kebun, mereka tetap bersemangat bergotong royong, karena tiap warga memiliki peran. Enggak melihat laki-laki atau perempuan. Bersih-bersih kebun, bakaran, baru ditanam, ngerintis, nebang, manduk (membakar sampah). Dalam satu musim tanam warga setidaknya menghabiskan 5 kaleng beras, jumlah itu setara dengan luas satu setengah hektar padi gunung, paling sedikit hanya 3 kaleng atau setara satu hektar.
Kebiasaan warga satu tahun berlandang setelah itu pulang membawa hasil panen, beberapa bulan kemudian pergi lagi. Ladang berpindah berlangsung hingga 3 atau 4 tahun. Dari satu ladang berpindah ke lahan lainnya hingga tahun ke tiga atau ke empat kembali ke bekas ladang awal yang pertama kali di buka. Selain padi gunung, buah pisang serta kopi didapat dari hasil kebun, beberapa di jual guna membeli gula dan garam.
Selain menanam padi gunung, pandi dan keluarga memperoleh pendapatan lain dari mengumpulkan rotan-rotan di hutan yang kemudian dipasarkan ke pengrajin-pengrajin rotan di kota balikpapan. Lahan yang begitu luas dengan mudah diselesaikan. Semua itu karena dikerjakan bersama-sama. Warga masak rame-rame makan di kebun, Sampe banyak kepala keluarga yang ikut berkumpul di ladang.
Masyarakat adat suku balik paham betul bagaimana cara merawat dan menjaga alam dengan tidak merusaknya, hidup sederhana dengan berlimpah pemenuhan kehidupan dari alam, seperti dahulu mereka sangat mudah untuk mendapatkan lauk tinggal pergi ke sungai untuk mendapatkannya secara gratis, air sungai yang bersih juga di gunakan untuk mandi dan dikonsumsi, tetapi kondisi nya telah berubah semenjak adanya aktifitas ekstraktif Hutan Tanaman Industri PT.ITCI Hutani Manunggal (IHM) di hulu yang merusak dan meracuni sungai sepaku.
Bagi warga yang tinggal d Jl.Datu Nodol, kampung sepaku, mayoritas kebutuhan airnya di topang langsung dari sungai sepaku, warga tahu betul bagaimana perubahan-perubahan yang terjadi. Dahulu saat musim kemarau panjang ( tiga bulan) tepatnya tahun 1980-an. Dahulu saat air laut alami pasang besar, air sungai masih bisa dikonsumsi warga selama tiga bulan. Sekarang tidak sampai sebulan air laut sudah naik dan tak bisa di konsumsi lagi.
Hilangnya sumber-sumber air baik itu rawa-rawa, anak sungai, dan cerukan-cerukan sumur air bukan sebatas karena hutan-hutan telah di tebangi namun juga daratan tersebut habis ditimbuni dengan material tanah demi mendapatkan hamparan pohon eucalyptus yang rapi dan rapat. Pembukaan hutan secara membabi buta mengakibatkan meningkatnya suhu kawasan dan mempersulit hadirnya tabungan-tabungan air secara alamiah. Dari sini jejak hilangnya layanan fungsi alam semakin terlihat.
Kini konsumsi air warga harus di penuhi dengan cara membeli dari depo air suling dan jasa angkutan air tandon yang harus di bayar sebesar 70 – 80 ribu rupiah per tandon. Tidak setiap Keluarga membeli, Syamsiah dan Pandi tetap menggunakan air sungai untuk mandi dan mencuci walau dengan kondisi air yang keruh dan berbau lumpur. Sesekali kadang air tersebut terasa licin dikulit seperti ada zat kimia yang diduga adalah pestisida ikut tercampur di dalamnya.
Kini Tradisi Sempolo nasok, aktifitas berenang anak-anak, lauk pauk yang dipancing dari sungai hanya tinggal cerita. Demi mendapatkan beras warga tidak lagi peroleh dari hasil berladang ,namun dengan membeli beras hasil dari petani dari desa terdekat.
Rusaknya produksi dan konsumsi warga bukan lagi karena atas pilihan warga balik, namun ditentukan oleh kebijakan pemerintah yang cenderung merusak bahkan menghilangkan sejarah peradaban masa lalu mereka. Tahun 1973 Soeharto memberikan Hak Pengelolaan Hutan (HPH) kepada PT.Internasional Timber Corporation Indonesia (ITCI) Kartika Utama seluas kurang lebih 250 ribu hektar untuk produksi log atau Kayu Glondongan. PT.ITCI Kartika Utama merupakan salah satu perusahaan milik Angkatan Darat dibawah payung Yayasan Kartika Eka Paksi. Kejayaan ITCI Kartika Utama runtuh bersamaan dengan jatuhnya kekuasaan Orde Baru Soeharto. Dalam kondisi sekarat Hasyim Djojohadikusumo mengambil alih kepemilikan perusahaan. Pada tahun 2006 PT. ITCI Hutani Manunggal (IHM) mengambil sebagian saham PT.IKU, perusahaan yang bergerak di sektor Hutan Tanaman Industri (HTI) menguasai lahan seluas kurang lebih 161.127 Hektar.
Saat ini Syamsiah dan Pandi memilih tidak diam, mereka memutuskan melawan ketidakadilan atas kebijakan pemerintah yang berencana menggusur tempat tinggalnya. Sebuah mega proyek Intake Sepaku telah terbangun dan rencananya akan diperluas hingga mencapai 4,5 kilometer sepanjang sempadan sungai. Proyek sengaja di bangun demi menunjang kebutuhan air baku perkantoran dan perumahan Ibu Kota Baru, namun tidak untuk mengatasi krisis air dan pangan yang dialami Syamsiah dan keluarganya.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Hilangnya Air dan Pangan akibat Kepungan Industri
Kamis, 25 Mei 2023 12:23 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler